Saturday, February 13, 2010

Empat hambatan kreativitas


Kita sudah tahu, kita semua pada dasarnya kreatif. Benih-benih dan kekuatan kreatif sebenarnya terus menerus mengalir dari dalam diri kita. Yang menjadi masalah bukanlah ketiadaan ide-ide kreatif, tetapi adanya halangan-halangan yang memblokir ekspresi kreativitas kita. Celakanya, kita sering tidak menyadari keberadaan hambatan-hambatan tersebut. Upaya menjadi lebih kreatif, karena itu, adalah upaya-upaya menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut. James L. Adams dalam bukunya “Conceptual Blockbusting” menyebutkan adanya 4 jenis hambatan yang harus kita atasi bila ingin menjadi kreatif. Apa saja? Mari kita lihat.
Hambatan pertama adalah hambatan perseptual, yaitu halangan yang mencegah kita melihat secara jelas masalah atau informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu contoh terjelas hambatan jenis ini adalah praduga atau stereotyping. Jika kita terlanjur mempercayai sesuatu, kita selalu mencari konfirmasi untuk membenarkan kepercayaan tersebut (baca juga: Confirmation Bias dan Kreativitas). Sikap ini membuat kita malas mencari alternatif penjelasan lain. Hambatan perseptual juga sering membuat kita membatasi lingkup persoalan yang dihadapi. Ketika kita diberi enam korek api dan diminta membuat empat segi tiga sama sisi, kebanyakan dari kita akan melihatnya sebagai masalah dua dimensi. Padahal problem tersebut hanya bisa diselesaikan bila kita melihatnya sebagai masalah tiga dimensi (cobalah sendiri).
Hambatan perseptual lainnya adalah ketidakmampuan melihat masalah dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Seorang akuntan akan melihat masalah penurunan penjualan melalui kaca mata akuntansi; seorang ahli pemasaran melihat melalui konsep-konsep pemasaran. Padahal kemampuan menilai permasalahan dari berbagai sudut adalah kunci kreativitas dan sumber solusi yang lebih bijak. Sudut pandang berbeda mampu memberi kita beragam ide baru, dan demikian juga persepsi yang diperoleh dari indra yang berbeda. Orang-orang kreatif mampu melibatkan beberapa indra mereka sekaligus secara intensif sewaktu mengobservasi sebuah objek atau peristiwa, sebuah hal yang jarang dilakukan kelompok yang kurang kreatif (yang umumnya bertumpu pada indra penglihatan atau pendengaran belaka).
Hambatan perseptual adalah hambatan pertama yang paling mudah dikenali. Tetapi tentu itu bukan satu-satunya hambatan. Hambatan kedua adalah hambatan emosional, terutama yang disebabkan ketakutan (baca juga: Ketakutan, Kreativitas, dan Inovasi). Untuk merasakan ketakutan ini sungguh mudah. Di rapat perusahaan, cobalah menyuarakan ide yang berbeda dari pendapat umum dan perhatikan apa yang Anda rasakan. Kadang berpikir untuk menentang pendapat umum saja sudah membuat perut kita terasa bergolak. Mungkin Anda merasa perasaan tersebut muncul karena kita harus melawan arus di depan orang banyak. Tetapi bagaimana bila Anda mengunci pintu kamar Anda, tengkurap di lantai, dan mencoba melata bagaikan ular sambil mendesis-desis. Untuk sebagian besar orang, meski yakin tidak ada yang melihat, perasaan tidak enak dan merasa bodoh tersebut akan tetap muncul.

Akar dari ketakutan tersebut sungguh tidak mudah untuk dilacak karena kompleksnya emosi manusia. Tetapi ketakutan yang menghalangi pengeluaran ide-ide baru tampaknya berakar dari ketakutan untuk gagal atau untuk mengambil resiko. Ide-ide kreatif atau inovatif tentu penuh dengan resiko kegagalan karena kita mencoba mengguncang sistem yang sudah ada. Ketakutan seperti itu juga membuat kita lebih suka mengkritik ide-ide orang lain daripada menghasilkan ide-ide sendiri.
Hambatan berikutnya tak kalah kuatnya, atau kadang malah lebih kuat, yaitu hambatan kultural dan/atau lingkungan. Bentuk paling umum dari hambatan ini adalah tabu yang berlaku di masyarakat. Di masyarakat Indonesia, misalnya, bentuk-bentuk ekspresi kreativitas yang mengeksploitasi erotika jelas-jelas tidak akan diterima dengan tangan terbuka. Tetapi sering tabu-tabu tersebut mengambil bentuk yang lebih halus. Budaya paternalistik kita sudah cukup untuk menghalangi karyawan-karyawan mengemukakan ide di hadapan para atasan mereka. Kalangan akademis yang mendewakan rasionalitas juga tidak akan menerima begitu saja ide-ide yang didapatkan dari intuisi. Kadang norma-norma yang berlaku di sebuah domain ilmu pengetahuan juga mampu menghambat ide-ide baru karena orang-orang di dalam domain tersebut sudah terlalu lama hidup tenang dalam ide-ide lama (baca juga: Umar Hasan Saputra).
Lingkungan fisik juga berpengaruh cukup besar terhadap lahirnya ide-ide kreatif. Apakah Anda bisa berpikir dengan tenang di tengah-tengah konser musik rock? Organisasi yang menyadari pentingnya lingkungan fisik tersebut sudah bersusah payah merancang gedung yang mampu memicu ide-ide kreatif (baca juga: Rancangan Gedung dan Kreativitas).
Cuma itu saja hambatan-hambatan yang ada? Sebenarnya tiga jenis hambatan di atas sudah cukup sulit untuk diatasi. Tetapi berita buruknya adalah: ada satu jenis hambatan lagi yang jarang dikenali, yaitu hambatan ekspresi. Hambatan ini paling jarang dibahas, tetapi cukup penting. Mirip dengan orang Indonesia yang berada di Paris, tetapi tidak bisa berbahasa Prancis, hambatan ini terjadi karena “bahasa” yang kita kuasai ternyata tidak cocok untuk menyelesaikan sebuah masalah atau mengkomunikasikan ide kita kepada orang lain. Ambil saja contoh para desainer yang terbiasa berbahasa “visual” yang harus menyampaikan ide mereka di depan para insinyur yang berbahasa “matematis”; atau penulis yang berbahasa “verbal” harus melukiskan keindahan karya mereka di depan para arsitek yang berbahasa “visual”. Kesulitan penyampaian ide akan muncul karena tidak samanya bahasa yang dipakai.
Hambatan ini penting untuk diatasi karena sebuah masalah umumnya lebih efektif diselesaikan dengan “bahasa” tertentu. Masalah yang bernuansa matematika tidak bisa diselesaikan dengan bahasa “verbal”. Bila kita kebetulan tidak menguasai bahasa yang dibutuhkan tersebut, masalah tersebut sulit untuk dipecahkan. Selain itu, upaya-upaya kreatif sering melibatkan kerja sama (dan persetujuan) dari orang-orang lain yang sering memiliki latar belakang yang berbeda dengan kita. Bila Anda tidak berhasil membuat mereka menghargai ide Anda, ide kreatif Anda akan mati muda. Hambatan ini sangat mengganggu karena kita sering tidak menyadari masalahnya.
Setelah mengenali empat jenis hambatan tersebut, apa yang harus kita lakukan untuk menyingkirkan mereka? Kata orang-orang bijak, mengenali musuh adalah langkah pertama untuk mengalahkannya. Dengan mengenali mereka, membawa mereka ke permukaan, kita sudah setengah jalan dalam upaya mengatasinya. Misalnya saja, karena kita tahu hambatan perseptual disebabkan oleh terbatasnya jangkauan persepsi kita, yang perlu kita lakukan adalah berusaha memperluas persepsi kita dengan mempertimbangkan lebih banyak sumber ide dan mencari lebih banyak alternatif solusi. Hambatan emosional bisa dikurangi dengan mencoba menilai resiko kegagalan secara objektif, dan mencari cara-cara untuk mengurangi resiko tersebut tanpa harus membuat kita takut mengeluarkan ide kita. Hambatan kultural memang lebih sulit diatasi karena menyangkut pendapat umum. Tetapi kita bisa mencoba membungkus ide kita dalam bingkai yang bisa diterima kultur tersebut. Perusahaan yang ingin berinovasi juga bisa menciptakan kultur perusahaan yang mendukung upaya-upaya kreativitas meski kultur tersebut tidak selaras dengan kultur nasional. Hambatan lingkungan bisa diatasi dengan mencari lingkungan yang lebih mendukung, seperti duduk-duduk santai di taman atau memutar musik yang bisa menginspirasi Anda. Sedangkan hambatan ekspresi bisa dikurangi dengan belajar secara sadar “bahasa-bahasa” lain yang selama ini menjadi kelemahan Anda.
Bila hambatan yang harus Anda atasi terlalu banyak, jangan atasi mereka semua secara sekaligus. Carilah yang paling mengganggu terlebih dahulu. Atasi satu per satu. Dengan menghilangkan satu hambatan sajapun, kreativitas Anda sudah akan meningkat.
Selamat mencoba.

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah
universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan
pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang
menciptakan semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor
sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti
Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut
prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita
bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor
tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa
sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah
mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya
bertanya sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu
ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak
pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa
lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan
panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua
partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut.
Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu
juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma
Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan
mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda
tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur
dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu
ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang
telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan
TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-
perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda
salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan
Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang
dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak
menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya
kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari
ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein

IBU

Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia. Menjelang diturunkannya ke bumi dia bertanya kepada Tuhan

“Para malaikat di sini mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara saya hidup di sana, saya begitu kecil dan lemah,” kata sang bayi

Tuhan pun menjawab, “ Aku telah memilih satu malaikat untukmu, ia akan menjaga dan mengasihimu.”

“ Tapi di surga, apa yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa, ini cukup bagi saya untuk bahagia.” Demikian kata si bayi.

Tuhan menjawab, “ Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari, dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi lebih bahagia.”

Si bayipun bertanya kembali, “ Dan apa yang dapat saya lakukan saat ingin berbicara kepada-Mu ?”

Sekali lagi Tuhan menjawab, “ Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdo’a. ”

Si bayipun masih belum puas, ia pun bertanya kembali, “ Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, siapa yang akan melindungi saya? ”

Tuhanpun menjawab, “ Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekalipun. ”

Si bayipun tetap belum puas dan melanjutkan pertanyaanya, “ Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi. ”

Dan Tuhanpun menjawab, “ Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Aku, dan akan mengajarkan kamu bisa kembali kepada-Ku, walaupun sesungguhnya Aku selalu berada di sisimu. ”

Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suarah lirih bertanya, “ Tuhan, jika saya harus pergi sekarang, bisakah Engkau memberitahu siapa nama malaikat di rumahku nanti ? ”
Tuhanpun menjawab, “ Kamu dapat memanggil malaikatmu…IBU…”


Kenanglah Ibu yang menyayangimu

Untuk ibu yang selalu meneteskan air mata ketika engkau pergi

Ingatkah engkau, ketika ibumu rela tidur tanpa selimut demi melihatmu, tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuhmu?

Ingatkah engkau ketika jemari ibu mengusap lembut kepalamu? …dan ingatkah engkau ketika air mata menetes dari mata ibumu ketika ia melihatmu terbaring sakit?

Sesekali jenguklah ibumu yang selalu menantikan kepulanganmu di rumah tempat engkau dilahirkan

Kembalilah memohon maaf pada ibumu yang selalu rindu akan senyumanmu

Simpanlah sejenak kesibukan-kesibukan duniawi yang selalu membuatmu lupa untuk pulang

Segeralah jenguk ibumu yang berdiri menantimu di depan pintu bahkan sampai malampun kian larut

Jangan biarkan dirimu kehilangan saat-saat yang akan kau rindukan di masa datang.

Ketika ibu telah tiada……….

Tak ada lagi yang berdiri di depan pintu yang menyambut kita

Tak ada lagi senyuman indah…tanda bahagia…..
Yang ada hanyalah kamar yang kosong tiada penghuninya

Yang ada hanyalah baju yang digantung di lemari kamarnya

Tak ada lagi yang menyiapkan sarapan pagi untukmu makan, tak ada lagi yang rela merawatmu sampai larut malam ketika engkau sakit…

Tak ada lagi dan tak akan ada lagi yang meneteskan air mata mendo’akanmu disetiap hembusan nafasnya

Kembalilah segera…peluklah ibu yang selalu menyayangimu…

Ciumlah kaki ibu yang selalu merindukanmu dan berikanlah yang terbaik diakhir hayatnya

Kawan berdo’alah untuk kesehatannya dan rasakanlah pelukan cinta dan kasih sayangnya, jangan biarkan engkau menyesal di masa datang, kembalilah pada ibu yang selalu menyayangimu….

Kenanglah semua cinta dan kasih sayangnya

Ibu…maafkan aku…..

Sampai kapanpun jasamu tak akan terbalas



Distributed by:
http://benbego.com & http://benshared.com
mailing list : benbego@yahoogroups.com

Friday, February 12, 2010

BERINTERAKSI DENGAN MUSIBAH

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya, ia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, ia kembali (melalui jalan yang sesat), seolah-olah ia tidak pernah berdoa kepada Kami” (QS.Yunus: 12).

Bencana besar dan beruntun telah menimpa negeri ini. Banjir yang telah melumpuhkan Jakarta belum lama berlalu, namun telah diperkirakan bencana berikutnya akan menyusul, kekeringan. Itulah yang dalam Islam disebut musibah. Sebuah ketentuan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki, kepada yang taat ataupun yang bermaksiat, kepada yang mukmin maupun kepada yang kafir. Sedih atas sebuah bencana sangat wajar. Namun, bagi setiap muslim telah ada panduan dari Rasul untuk menyikapi sebuah musibah. Sebuah sikap yang sangat bijaksana yang sesungguhnya paling menguntungkan di antara pilihan-pilihan sikap yang lain, berpikir positif.

Sesungguhnya Allah telah menyebut dengan jelas hikmah-hikmah indah yang terkandung dalam sebuah musibah. Yang pertama adalah sebagai peringatan bagi sekalian manusia yang sarat dengan sifat kealpaan. Sesungguhnya seorang muslim harus merasa beruntung jika mendapat teguran dari Rabbnya. Yang kedua adalah sebagai sebuah ujian yang akan meningkatkan derajat ketakwaan. Inilah sifat Zat Yang Mahaagung. Di balik musibah yang diberikan-Nya kepada manusia, Ia telah menyediakan hadiah terindah untuk hamba-Nya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk menghujat sebuah musibah. Dan yang terakhir yang harus diwaspadai oleh setiap muslim adalah musibah yang juga merupakan tanda-tanda adzab dari Allah.

Bagaimana dengan orang yang sedang merasakan sebuah musibah? Apakah ia dapat merasakan indahnya hikmah musibah?

Hikmah adalah sebuah mutiara yang hilang dari seorang muslim yang sesungguhnya dapat diambil setiap saat dari segala peristiwa, meskipun ia tak mengalaminya sendiri. Saya masih ingat cerita seorang sahabat mengenai seorang temannya. Ia adalah seorang laki-laki yang ganteng, cerdas dan ternyata ia juga anak orang kaya. Teman saya pernah berandai-andai, jika ia seperti lelaki itu mungkin saat ini ia telah jadi bintang sinetron atau model. Tapi ternyata lelaki tadi tidak seperti itu. Dalam perjalanan hidupnya ia mendapat hidayah dari Allah, dan memutuskan untuk berjuang membina diri dengan baik. Kejadian itu membuat sahabat saya berpikir keras. Ia merasa malu, karena ia menyadari bahwa sebetulnya ia tidak sehebat temannya dan juga tidak lebih shaleh. Dari sini, akhirnya ia berusaha untuk lebih baik. Inilah salah satu contoh hikmah yang dapat diambil seorang muslim dari peristiwa yang dialami secara langsung.

Selanjutnya yang harus kita pahami, sesunggunhya setiap kondisi manusia hanya dihadapkan pada dua kondisi, sedih dan bahagia. Segala sesuatu yang dirasakan bisa digolongkan menjadi salah satu dari keduanya. Di saat tidak tertimpa musibah sangat mungkin seseorang lebih memilih bersikap biasa-biasa saja, apalagi jika tidak ada kondisi lain sebagai pembanding. Padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Bagi orang-orang yang mempunyai sensivitas yang tinggi segala kondisi yang ia rasakan akan melahirkan sikap waspada. Keputusan terbaik yang akan diambil oleh orang-orang seperti ini adalah memperbanyak syukur. Ada kesempatan berpahala yang Allah berikan dengan keadaan lapang tersebut, yaitu kemudahan untuk membantu orang lain. Dan ketika musibah menimpa, orang mukmin akan menyikapinya sebagai momentum untuk mendapatkan hikmah lain, kesabaran.
(Tabloid MQ edisi 12/TH.II/APRIL 2002)

WAHYU DAN ILMU PENGETAHUAN


Ada seorang ilmuwan yang bertanya kepada orang bijak,“Mengapa shalat subuh hanya dua rakaat ?” sang bijak menjawab, “Saya tidak tahu. Hal itu merupakan hUkum dari Allah dan kita harus mematuhinya.”
Begitu ilmuwan itu memahami bahwa orang bijak tersebut tidak mengetahui jawabannya, segera ia berlagak pandai, lalu berkata, “Dunia hari ini adalah dunia ilmu pengetahuan. Pada hari ini, agama tanpa ilmu pengetahuan tidak akan berjalan.”
Kemudian orang bijak tersebut balik bertanya, “Coba jelaskan, mengapa buah beringin itu kecil padahal pohonnya begitu besar dan kokoh sedangkan buah semangka itu demikian besar sementara pohonnya saja kecil dan lemah.”
Ilmuwan itu menjawab, “Saya tidak tahu.”
Kemudian sang bijak menjawab seperti apa yang dilakukan ilmuwan tadi, “Dunia hari ini adalah dunia ilmu pengetahuan. Ilmu harus membuktikan semuanya.”
Mendengar jawaban itu tampak kesombongan sang ilmuwan pupus. Kemudian orang bijak itu menjelaskan, “Memang benar, dunia hari ini adalah dunia ilmu pengetahuan. Namun hal itu bukan berarti kita harus mengetahui semua rahasia alam semesta hari ini juga. Sudah tentu antara pohon beringin dan pohon semangka tersimpan suatu rahasia dan hubungan yang hingga saat ini ahli botani pun belum dapat menguaknya. Jadi, kita sepakat tentang adanya berbagai rahasia alam ini. Namun demikian, kita sama sekali tidak dapat menerima pengakuan seseorang bahwa ia memahami rahasia alam seluruhnya.”
Yang patut kita renungkan kemudian adalah jika dalam mengamalkan suatu hokum dari sisi Allah SWT, seseorang harus selalu mengetahui terlebih rahasia dibalik hokum tersebut, maka dimanakah bahasa keimanan itu digunakan, dan dimanakah nilai penghambaan kepada Allah diberikan?
Wahyu lebih mulia daripada ilmu pengetahuan dan lebih menabjubkan daripada peraturan manusia. Namun, anehnya mengapa kita jumpai banyak orang yang dapat menerima setiap peraturan, undang-undang, maupun hokum positif lainnya yang datang dari manusia, tetapi apabila berhadapan dengan hokum dari sisi Allah SWT, manusia langsung menghindar dan tiba-tiba mencernanya dengan logika yang ia miliki? Kita seharusnya mulai sadar.
(dikutip dari BSG fisika 2007 ITB, hal:201)

start

emm...mw nulis apa yah...??? ^_^